Fa Shien, Pengelana
China pada abad ke-5, berhasil mengunjungi Sriwijaya dalam perjalanannya
ke Asia Tenggara. Dari catatannya diketahui bahwa di Sriwijaya sudah
terdapat kaum Brahmawan yang mengajarkan Agama Buddha. Selanjutnya dari
Sriwijaya, agama Buddha berkembang ke daerah lain, diantaranya Pulau
Jawa dan pulau pulau sekitarnya.
Memasuki masa penjajahan selama 350 tahun seakan Agama Buddha menghilang dari bumi nusantara. Sisa-sisa penduduk Majapahit yang beragama Buddha banyak yang tinggal di Bali dan daerah Jawa Timur dan menjalankan tradisi Buddhis yang masih bertahan sampai sekarang. Perkembangan Agama Buddha pada masa penjajahan ini diwarnai dengan corak Agama Buddha dari China. Tridharma : Buddha, Kong Hu Cu dan Tao. Kebangkitan Agama Buddha baru terasa nyata sejak didirikannya ‘Java Buddhist Association’ oleh Pandita Belanda Josiast V. Dients tahun 1932, dan kedatangan Bhikkhu Narada pada tahun 1934.
Sejarah Agama Buddha secara garis besar terbagi dalam enam masa :
· Masa Jaman Kerajaan Sriwijaya
· Masa Jaman Kerajaan di Jawa Tengah
· Masa Jaman Kerajaan di Jawa Timur
· Masa Abad ke-20
· Masa Setelah kemerdekaan Indonesia
· Era Walubi
Masa Jaman Kerajaan Sriwijaya
Banyak orang menduga bahwa awal masuknya agama Buddha ke Indonesia adalah pada kedatangan Aji Saka ke tanah Jawa pada awal abad kesatu. Dugaan ini berawal dari etimologis terhadap Aji Saka itu sendiri, serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Kata ‘Aji’ dalam bahasa Kawi bisa berarti ilmu yang ada hubungannya dengan kitab suci, sedangkan ‘Saka’ ditafsirkan sebagai kata Sakya yang mengalami transformasi. Dengan demikian mungkin kata Aji Saka ditafsirkan sebagai gelar raja Tritustha yang ahli mengenai kitab suci Sakya, dalam hal ini ahli tentang Buddha Dhamma, selain dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap pembuatan aksara Jawa. Bila hal ini benar, tarikh Saka yang permulaanya dinyatakan sebagai ‘Nir Wuk Tanpa Jalu’ (Nir berarti kosong (0), Wuk berarti tidak jadi (0), Tanpa berarti 0 dan Jalu sama dengan 1) yang sekaligus dimaksudkan untuk mengabadikan pendaratan pertama beliau di Jepara.
Sumber pengetahuan kita tentang Agama Buddha diambil dari prasasti yang ditemukan dan dari berita-berita luar negri, yaitu dari orang China yang mengunjungi Indonesia.
Banyak orang menduga bahwa awal masuknya agama Buddha ke Indonesia adalah pada kedatangan Aji Saka ke tanah Jawa pada awal abad kesatu. Dugaan ini berawal dari etimologis terhadap Aji Saka itu sendiri, serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Kata ‘Aji’ dalam bahasa Kawi bisa berarti ilmu yang ada hubungannya dengan kitab suci, sedangkan ‘Saka’ ditafsirkan sebagai kata Sakya yang mengalami transformasi. Dengan demikian mungkin kata Aji Saka ditafsirkan sebagai gelar raja Tritustha yang ahli mengenai kitab suci Sakya, dalam hal ini ahli tentang Buddha Dhamma, selain dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap pembuatan aksara Jawa. Bila hal ini benar, tarikh Saka yang permulaanya dinyatakan sebagai ‘Nir Wuk Tanpa Jalu’ (Nir berarti kosong (0), Wuk berarti tidak jadi (0), Tanpa berarti 0 dan Jalu sama dengan 1) yang sekaligus dimaksudkan untuk mengabadikan pendaratan pertama beliau di Jepara.
Sumber pengetahuan kita tentang Agama Buddha diambil dari prasasti yang ditemukan dan dari berita-berita luar negri, yaitu dari orang China yang mengunjungi Indonesia.
Prasasti yang berasal
dari abad kelima hingga ketujuh tidak terlalu banyak memberikan
informasi. Prasasti itu berasal dari Kalimantan, Sumatra dan Jawa. Dari
prasasti itu kita hanya mengetahui bahwa pada waktu itu ada raja-raja
yang memiliki nama yang berbau India, seperti Mulawarman di Kutei dan
Purnawarman di Jawa-barat. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa raja
tersebut berasal dari India. Yang paling mungkin adalah raja-raja
tersebut adalah orang Indonesia asli yang sudah masuk agama yang datang
dari India.
Selanjutnya prasasti
tersebut menunjukan bahwa agama yang dipeluk adalah agama Hindu. tapi
dari penemuan patung-patung Buddha, dapat disimpulkan bahwa agama Buddha
juga sudah ada, walaupun jumlahnya masih sedikit.
Informasi paling tua tentang keberadaan Agama Buddha di Jawa dan Sumatra didapat dari pengelana China bernama Fah-Hien, yang sekembalinya dari Ceylon ke China pada tahun 414 terpaksa mendarat di negri yang bernama Ye-Po-Ti karena kapalnya rusak. Sekarang tidak terlalu jelas apakah Ye-Po-Ti itu Jawa atau Sumatra. Beberapa ahli mengatakan bahwa Ye-Po-Ti adalah Jawa (Javadvipa). Fah-Hien menyebutkan ada umat Buddha di Ye-Po-Ti, walaupun cuma sedikit.Sekalipun demikian agaknya sesudah abad kelima keadaan berubah.
Informasi paling tua tentang keberadaan Agama Buddha di Jawa dan Sumatra didapat dari pengelana China bernama Fah-Hien, yang sekembalinya dari Ceylon ke China pada tahun 414 terpaksa mendarat di negri yang bernama Ye-Po-Ti karena kapalnya rusak. Sekarang tidak terlalu jelas apakah Ye-Po-Ti itu Jawa atau Sumatra. Beberapa ahli mengatakan bahwa Ye-Po-Ti adalah Jawa (Javadvipa). Fah-Hien menyebutkan ada umat Buddha di Ye-Po-Ti, walaupun cuma sedikit.Sekalipun demikian agaknya sesudah abad kelima keadaan berubah.
Tidak sampai tiga
ratus tahun kemudian, pada akhir abad ketujuh, Biksu China I-tsing
mencatat dengan lengkap agama Buddha dan aplikasinya di India dan
Melayu. Ketertarikan utamanya adalah pada ‘rumah agama Buddha’ India
utara dimana I-tsing tinggal dan belajar disana selama lebih dari
sepuluh tahun. Dari catatannya dapat dikatakan bahwa agama Buddha di
India dan Sumatra mempunyai banyak kesamaan, dimana I-tsing juga
menemukan perbedaan antara agama Buddha di China dan di India.
I-tsing menghabiskan waktunya hidup sendirian sebagai Biksu di India dan Sumatra. Seluruh bukunya merupakan catatan lengkap tentang kehidupan biarawan. Ia tinggal di India seluruhnya berdasarkan peraturan vinnaya.
I-tsing menghabiskan waktunya hidup sendirian sebagai Biksu di India dan Sumatra. Seluruh bukunya merupakan catatan lengkap tentang kehidupan biarawan. Ia tinggal di India seluruhnya berdasarkan peraturan vinnaya.
Bila dibandingkan
catatan Fah-Hien tahun 414 dengan catatan I-tsing, dapat diambil
kesimpulan bahwa agama Buddha dipulau Jawa dan Sumatra telah dibangun
dengan sangat cepat. Pekerjaan I-tsing selain menulis catatan seperti
dikemukakan diatas, ia juga menulis buku tentang perjalanan seorang guru
agama terkenal yang pergi ke negri disebelah barat (Sriwijaya ?).
Diceritakannya pada catatannya itu, kehidupan biarawan yang pada intinya
hampir sama dengan yang ada di India. Dalam bukunya dikatakan bahwa
Biksu asli Jawa dan Sumatra adalah sarjana sanskrit yang sangat bagus.
Salah saatunya adalah Jnanabhadra yang merupakan orang Jawa Asli yang
tinggal di Sumatra dan bertindak sebagai guru bagi biksu China dan
membantu menterjemahkan sutra kedalam bahasa China. Bahasa yang
digunakan oleh biksu Buddha adalah bahasa sanskrit. Bahasa pali tidak
digunakan. Bagaimanapun hal ini tidak boleh dijadikan patokan bahwa
agama Buddha yang berkembang disini adalah Mahayana. I-tsing menjelaskan
dalam bukunya Agama Buddha dipeluk diseluruh negri ini dan kebanyakan
sistem yang diadopsi adalah Hinayana, kecuali di Melayu dimana ada
sedikit yang mengadopsi Mahayana
Sudah banyak diketahui umum bahwa literatur agama Buddha berbahasa sanskrit tidak melulu berarti Mahayana.
Sudah banyak diketahui umum bahwa literatur agama Buddha berbahasa sanskrit tidak melulu berarti Mahayana.
Inilah bentuk agama
Buddha yang mencapai kepulauan di laut selatan. I-tsing mengatakan di
kepulauan di laut selatan, Mulasarvastivadanikayo hampir secara
universal di adaptasi. I-tsing tampaknya tidak mempermasalahkan
perbedaan antara penganut Hinayana dan Mahayana. Dikatakannya :
Mereka yang menyembah Bodhisatta dan membaca sutra mahayana disebut penganut Mahayana. Sementara yang tidak disebut penganut Hinayana. Kedua sistem ini sesuai dengan ajaran Dhamma. Dapatkah kita katakan mana yang benar? Keduanya mengajarkan kebajikan dan membimbing kita ke Nirvana. Keduanya menuju kepada pemusnahan nafsu dan penyelamatan semua mahluk hidup. Kita tidak boleh mempersoalkan perbedaan ini. membuat keraguan yang malah akan membuat kebingungan.
Dari karya-karyanya dapat dikatakan bahwa I-tsing tidaklah terlalu dalam bergelut dalam masalah filosofi buddhis tetapi hanya tertarik pada kehidupan biarawan dan tugas-tugas yang diemban oleh mereka. Dengan kata lain, ia memberikan seluruh waktunya untuk belajar vinnaya dan kehidupan biarawan.
Seperti dikemukakan diatas, di Sumatra dan Jawa lebih berkembang Hinayana. I-tsing menceritakan bahwa di Melayu, ditengah-tengah pesisir timur Sumatra ada pula yang menganut Mahayana. Dari sumber lain dijelaskan bahwa sebelum kedatangan I-tsing, telah datang biksu dari India Dharmapala, ke Melayu dan menyebarkan aliran Mahayana. Awal abad ke-20, dua prasasti ditemukan di dekat Palembang yang bercorak Mahayana. Prasasti lain yang dibuat tahun 775, ditemukan di Viengsa, semenanjung Melayu mengemukakan bahwa salah satu raja Sriwijaya dari keturunan Syailendra – yang tidak cuma memerintah di selatan Sumatra tapi juga dibagian selatan semenanjung Melayu – memerintahkan pembangunan tiga stupa. Ketiga stupa tersebut dipersembahkan kepada Buddha, Bodhisatwa Avalokitesvara dan Vajrapani. Dan ditempat lain ditemukan plat emas yang bertuliskan beberapa nama Dyani Buddha ; yang jelas-jelas merupakan aliran Mahayana.
Dari berita I-tsing itu selanjutnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pada waktu itu Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha. Disana terdapat sebuah perguruan tinggi Buddha yang tidak kalah dengan perguruan yang ada di Nalanda India. Ada lebih dari 1000 biksu yang ajaran serta tata upacaranya sama dengan yang ada di India. Kecuali pengikut Hinayana, di Sriwijaya juga terdapat pengikut Mahayana. Bahkan ada guru Mahayana yang mengajar disitu. Dari berita ini jelas bahwa Sriwijaya adalah pusat agama Buddha Mahayana, yang terbuka bagi gagasan baru dan yang juga senang mengadakan pekerjaan ilmiah. Oleh karena itu musafir China yang ingin belajar di India pasti singgah di Sriwijaya untuk mengadakan persiapan. Hal itu juga dilakukan oleh I-tsing sendiri.
Agaknya kemudian Mahayanalah yang berkembang dan berpengaruh besar. Hal ini terbukti dari beberapa prasasti yang didapat disekitar Palembang yang menyebutkan bahwa daputa hyang – barangkali perdana menteri – berusaha mencari berkat dan kekuatan gaib guna meneguhkan kerajaan Sriwijaya, agar segala mahluk dapat menikmatinya. Dari ungkapan yang digunakan, dapat diambil kesimpulan bahwa upacara ini adalah upacara indonesia kuno yang sesuai dengan ajaran Mahayana. Dari berita-berita yang lain jelaslah bahwa Mahayanalah yang berkuasa pada masa itu. Bahkan bukan cuma itu saja, mungkin pengaruh tantra, yang di India mempengaruhi agama Buddha sejak pertengahan abad ketujuh, juga terdapat di Sriwijaya. Hal ini didapat dari uraian bahwa salah satu tingkat untuk mendapatkan hikmah tertinggi adalah wajrasarira, tubuh baja (intan) yang mengingatkan kepada ajaran wajrayana.
Semua ini menunjukan bahwa pada tahap permulaan masih ada hubungan yang erat antara Indonesia dan India. Hubungan ini agaknya makin lama makin mengurang.
Masa Jaman Kerajaan di Jawa Tengah
Dibandingkan dengan jaman sebelumnya, sumber Agama Buddha di Jawa Tengah sedikit lebih banyak. Pada jaman ini di Jawa Tengah sudah terdapat dua kerajaan besar : Kerajaan dari dinasti Syailendra yang memeluk agama Buddha dan kerajaan dari dinasti Sanjaya yang memeluk agama Siwa. Agaknya hubungan kedua kerajaan ini baik sekali, sebab berita yang ada menyebutkan bahwa kedua kerajaan tersebut saling tolong menolong dalam pendirian candi.
Di kerajaan Syailendra agama yang dipeluk adalah agama Buddha Mahayana. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan-peninggalan sejarah dan candi dari kerajaan ini yang bercorak Buddha Mahayana. Walaupun kerajaan Syailendra banyak mendirikan candi namun masih terbilang sedikit bila dibandingkan dengan candi yang dibangun oleh kerajaan Sanjaya. Bahwa yang berkembang adalah Buddha Mahayana, jelas terlihat dari candi di desa Kalasan – yang kemudian diabadikan sebagai nama candi tersebut. Candi ini dipersembahkan untuk Dewi Tara, rekan wanita Buddha. (Avalokitesvara ?).
Mereka yang menyembah Bodhisatta dan membaca sutra mahayana disebut penganut Mahayana. Sementara yang tidak disebut penganut Hinayana. Kedua sistem ini sesuai dengan ajaran Dhamma. Dapatkah kita katakan mana yang benar? Keduanya mengajarkan kebajikan dan membimbing kita ke Nirvana. Keduanya menuju kepada pemusnahan nafsu dan penyelamatan semua mahluk hidup. Kita tidak boleh mempersoalkan perbedaan ini. membuat keraguan yang malah akan membuat kebingungan.
Dari karya-karyanya dapat dikatakan bahwa I-tsing tidaklah terlalu dalam bergelut dalam masalah filosofi buddhis tetapi hanya tertarik pada kehidupan biarawan dan tugas-tugas yang diemban oleh mereka. Dengan kata lain, ia memberikan seluruh waktunya untuk belajar vinnaya dan kehidupan biarawan.
Seperti dikemukakan diatas, di Sumatra dan Jawa lebih berkembang Hinayana. I-tsing menceritakan bahwa di Melayu, ditengah-tengah pesisir timur Sumatra ada pula yang menganut Mahayana. Dari sumber lain dijelaskan bahwa sebelum kedatangan I-tsing, telah datang biksu dari India Dharmapala, ke Melayu dan menyebarkan aliran Mahayana. Awal abad ke-20, dua prasasti ditemukan di dekat Palembang yang bercorak Mahayana. Prasasti lain yang dibuat tahun 775, ditemukan di Viengsa, semenanjung Melayu mengemukakan bahwa salah satu raja Sriwijaya dari keturunan Syailendra – yang tidak cuma memerintah di selatan Sumatra tapi juga dibagian selatan semenanjung Melayu – memerintahkan pembangunan tiga stupa. Ketiga stupa tersebut dipersembahkan kepada Buddha, Bodhisatwa Avalokitesvara dan Vajrapani. Dan ditempat lain ditemukan plat emas yang bertuliskan beberapa nama Dyani Buddha ; yang jelas-jelas merupakan aliran Mahayana.
Dari berita I-tsing itu selanjutnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pada waktu itu Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha. Disana terdapat sebuah perguruan tinggi Buddha yang tidak kalah dengan perguruan yang ada di Nalanda India. Ada lebih dari 1000 biksu yang ajaran serta tata upacaranya sama dengan yang ada di India. Kecuali pengikut Hinayana, di Sriwijaya juga terdapat pengikut Mahayana. Bahkan ada guru Mahayana yang mengajar disitu. Dari berita ini jelas bahwa Sriwijaya adalah pusat agama Buddha Mahayana, yang terbuka bagi gagasan baru dan yang juga senang mengadakan pekerjaan ilmiah. Oleh karena itu musafir China yang ingin belajar di India pasti singgah di Sriwijaya untuk mengadakan persiapan. Hal itu juga dilakukan oleh I-tsing sendiri.
Agaknya kemudian Mahayanalah yang berkembang dan berpengaruh besar. Hal ini terbukti dari beberapa prasasti yang didapat disekitar Palembang yang menyebutkan bahwa daputa hyang – barangkali perdana menteri – berusaha mencari berkat dan kekuatan gaib guna meneguhkan kerajaan Sriwijaya, agar segala mahluk dapat menikmatinya. Dari ungkapan yang digunakan, dapat diambil kesimpulan bahwa upacara ini adalah upacara indonesia kuno yang sesuai dengan ajaran Mahayana. Dari berita-berita yang lain jelaslah bahwa Mahayanalah yang berkuasa pada masa itu. Bahkan bukan cuma itu saja, mungkin pengaruh tantra, yang di India mempengaruhi agama Buddha sejak pertengahan abad ketujuh, juga terdapat di Sriwijaya. Hal ini didapat dari uraian bahwa salah satu tingkat untuk mendapatkan hikmah tertinggi adalah wajrasarira, tubuh baja (intan) yang mengingatkan kepada ajaran wajrayana.
Semua ini menunjukan bahwa pada tahap permulaan masih ada hubungan yang erat antara Indonesia dan India. Hubungan ini agaknya makin lama makin mengurang.
Masa Jaman Kerajaan di Jawa Tengah
Dibandingkan dengan jaman sebelumnya, sumber Agama Buddha di Jawa Tengah sedikit lebih banyak. Pada jaman ini di Jawa Tengah sudah terdapat dua kerajaan besar : Kerajaan dari dinasti Syailendra yang memeluk agama Buddha dan kerajaan dari dinasti Sanjaya yang memeluk agama Siwa. Agaknya hubungan kedua kerajaan ini baik sekali, sebab berita yang ada menyebutkan bahwa kedua kerajaan tersebut saling tolong menolong dalam pendirian candi.
Di kerajaan Syailendra agama yang dipeluk adalah agama Buddha Mahayana. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan-peninggalan sejarah dan candi dari kerajaan ini yang bercorak Buddha Mahayana. Walaupun kerajaan Syailendra banyak mendirikan candi namun masih terbilang sedikit bila dibandingkan dengan candi yang dibangun oleh kerajaan Sanjaya. Bahwa yang berkembang adalah Buddha Mahayana, jelas terlihat dari candi di desa Kalasan – yang kemudian diabadikan sebagai nama candi tersebut. Candi ini dipersembahkan untuk Dewi Tara, rekan wanita Buddha. (Avalokitesvara ?).
Agaknya pada masa ini
masih ada hubungan yang erat dengan India, sebab ada juga berita bahwa
seorang guru dari Gaudidwipa (Bengala) yang memimpin upacara pada waktu
peresmian patung Manyuri. Demikian juga diberitakan diprasasti lain
bahwa ada orang dari Gujarat yang senantiasa melakukan kebaktian di
candi tertentu. Dugaan itu berasal dari berita di India. Raja Dewapala
dari dinasti Pala (Bengala) pada tahun pemerintahannya yang ke-39
(antara tahun 856 dan 860) menghadiahkan beberapa desa untuk keperluan
pemeliharan sebuah vihara di Nalanda, yang didirikan oleh Balaputra,
raja Suwarnadwipa (Sumatra), cucu raja di Jawa.
Sekalipun demikian keadaan di Jawa Tengah tidak sama dengan keadaan di Sriwijaya.
Mahayana yang bagaimanakah yang berkembang di Jawa Tengah? Pertanyaan itu sukar dijawab. Yang perlu diperhatikan adalah pada prasasti Kalurak (782) yang agaknya berhubungan juga dengan peresmian patung Mansyuri, disebutkan bahwa Mansyuri selain disamakan dengan Triratna juga disamakan dengan Brahma, Wisnu dan Maheswara. Bagi para pengikut Mahayana di Jawa Tengah, agaknya para Bodhisatva tidak dibedakan dengan dewa dari hindu.
Disamping prasasti, ada candi-candi yang menjadi saksi agama Buddha di Jawa Tengah. Candi tersebut memberikan penjelasan yang lebih banyak. Yang paling terkenal adalah candi Borobudur.
Mahayana yang bagaimanakah yang berkembang di Jawa Tengah? Pertanyaan itu sukar dijawab. Yang perlu diperhatikan adalah pada prasasti Kalurak (782) yang agaknya berhubungan juga dengan peresmian patung Mansyuri, disebutkan bahwa Mansyuri selain disamakan dengan Triratna juga disamakan dengan Brahma, Wisnu dan Maheswara. Bagi para pengikut Mahayana di Jawa Tengah, agaknya para Bodhisatva tidak dibedakan dengan dewa dari hindu.
Disamping prasasti, ada candi-candi yang menjadi saksi agama Buddha di Jawa Tengah. Candi tersebut memberikan penjelasan yang lebih banyak. Yang paling terkenal adalah candi Borobudur.
Jika ingin mengerti
arti Borobudur, bangunan itu harus dipandang sebagai satu kesatuan. Dari
susunan candi yaitu yang terdiri atas teras-teras yang bermacam-macam,
agaknya Borobudur mengungkapkan gambaran dunia menurut salah satu aliran
Mahayana. Borobudur menggambarkan seluruh alam semesta atau kosmos ini
terbagi atas tiga bagian : Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu.
Kamadhatu adalah hawa nafsu dan ini digambarkan dengan jelas pada bagian
bawah. Disini hidup orang yang masih terikat oleh hawa nafsu dan segala
hal yang berbau duniawi. Rupadhatu adalah dunia rupa, atau alam yang
terbentuk, yang digambarkan pada lima teras yang menggambarkan hidup
Buddha Gautama. Arupadhatu adalah alam yang tak berupa, tidak berbentuk.
Pusat dari alam ini adalah stupa yang dipuncak, yang kosong, yang
menggambarkan sunyata atau Nirwana atau Adhi Buddha.
Mengingat susunan
Borobudur yang demikian, agaknya dapat diambil kesimpulan bahwa
Borobudur ingin mengungkapkan ajaran Mahayana dalam hubungan kosmis.
Borobudur adalah tempat untuk ber meditasi, tempat untuk merenung.
Mengingat bahwa
Borobudur dibangun diatas bukit, agaknya pembangunan Borobudur itu
dijiwai oleh gagasan Indonesia kuno, yaitu tentang afanya tempat suci
yang berbentuk teras, yang biasanya dipakai untuk menyembah nenek
moyang, dan terletak diatas bukit. Oleh karena itu maka kiranya
penyembahan kepada Bodhisatva sudah dipandang sebahai alat untuk
menyembah nenek moyang mereka yang sudah meninggal. Jika demukian maka
agama Buddha pada waktu ini sudah dipengaruhi oleh cita-cita keagamaan
indonesia asli.
Masa Jaman Kerajaan di Jawa Timur
Di Jawa Timur, agaknya agama Buddha dan agama Siwa hidup berdampingan. Hal ini tertera dari prasasti-prasasti dimana mPu Sindok disebut dengan gelar Sri Isana (sebutan Siwa) sedangkan puntrinya menikah dengan Lokapala yang juga disebut Sugatapaksa (sebutan Buddhis). Juga ditemukan pengaruh tantra pada kedua agama ini cukup kuat.
Di Jawa Timur, agaknya agama Buddha dan agama Siwa hidup berdampingan. Hal ini tertera dari prasasti-prasasti dimana mPu Sindok disebut dengan gelar Sri Isana (sebutan Siwa) sedangkan puntrinya menikah dengan Lokapala yang juga disebut Sugatapaksa (sebutan Buddhis). Juga ditemukan pengaruh tantra pada kedua agama ini cukup kuat.
Dari kesusastraan
yang ada, didapat bahwa kesusastraan yang terkuno disusun sedemikian
rupa, hingga terdiri dari ayat-ayat dalam bahasa Sanskrit, yang diikuti
oleh keterangan bebas dalam bahasa Jawa kuno. Dari sini terlihat bahwa
ayat-ayat itu berasal dari India. Dalam perkembangan selanjutnya adalah
kitab tersebut terdiri dari ayat dalam bahasa Jawa kuno dan diselingi
bait-bait dari bahasa Sanskrit. Ini menunjukan hubungan dengan India
sudah longgar. Akhirnya terdapat kitab yang seluruhnya terdiri dari
bahasa Jawa kuno, hanya kadang terdapat selingan dalam bahasa Sanskrit.
Pada jaman ini ada
dua buku yang menguraikan ajaran Mahayana, yaitu ‘Sanghyang Kamahayan
Mantrayana’ yang berisi ajaran yang ditujukan kepada bhikkhu yang sedang
ditasbihkan, dan ‘Sanghyang Kamahayanikan’ yang berisi kumpulan
pengajaran bagaimana orang dapat mencapai kele pasan. Pokok ajaran dalam
Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam-
macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Bagi penulis
Sanghyang Kamahayanikan tidaklah terlalu sulit untuk mengidentifikasikan
Siwa dengan Buddha dan menyebutnya “Siwa-Buddha”, bukan lagi Siwa atau
Buddha, tetapi Siwa-Buddha sebagai satu Tuhan.
Beralih ke jaman
Majapahit, dapat disimpulkan bahwa jaman ini adalah jaman dimana
Sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Agaknya aliran Siwa, Wisnu dan
Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang sebagai bentuk yang
bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama. Siwa dan Wisnu dipandang
sama nilainya dan mereka digambarkan sebagai ‘Harihara’ yaitu patung
setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Buddha dipandang sama. Didalam
kitab Arjunawijaya umpamanya diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya
memasuki candi Buddha, para bhikkhu menerangkan bahwa para Jina dari
penjuru alam yang digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja
dengan penjelmaan Siwa. Wairocana sama dengan Sadasiwa yang menduduki
tempat tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang menduduki tempat timur.
Ratna sambhawa sama dengan Brahma yang menduduki selatan, Amitabha sama
dengan Mahadewa yang menduduki barat dan Amogasiddhi sama dengan Wisnu
yang menduduki utara. Oleh karana itu para bhikkhu tersebut mengatakan
tidak ada perbedaan antara agama Buddha dengan Siwa. Dalam kitan
‘Kunjarakarna’ disebutkan bahwa tiada seorangpun, baik pengikut Siwa
maupun Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika ia memisahkan yang
sebenarnya satu, yaitu Siwa-Buddha.
Kita mendapat kesan
bahwa pada waktu itu agama Buddha lebih berkembang dari agama Siwa. Ini
dilihat dari kitab Sutasoma yang mencaritakan tentang kemarahan
Kalarudra yang hendak membunuh Sutasoma, titisan Buddha. Para dewata
mencoba meredakan Kalarudra dengan mengingatkan bahwa sebenarnya Buddha
dan Siwa tidak bisa dibedakan. Jinatwa (hakekat Buddha) adalah sama
dengan Siwatattwa (hakekat Siwa). Selanjutnya dianjurkan agar orang
merenungkan Siwa-Buddha-tattwa, hakekat Siwa-Buddha.
Hal ini tampak juga
dari cerita Bubuksah yang ceritanya juga dilukiskan di candi Panataran.
Dua saudara yang tua bernama Gagang Aking, pengikut Siwa dan Bubuksah
pengikut Buddha, sejak muda hidup sebagai pertapa di gunung Wilis.
Bubuksah makan segala sesuatu yang dapat dimakan sedangkan Gagang Aking
memakan sayuran saja. Mereka berdebat tentang dua pertapaan ini.
Kemudian dewa Mahaguru mengutus Kala Wijaya dalam wujud harimau putih
untuk menguji kedua anak itu. Ketika harimau putih datang ke Gagang
Aking, dinasehatinya supaya pergi saja keadiknya karena tubuhnya lebih
gemuk. Ketika harimau itu tiba ditempat Bubuksah, dengan sengaja ia
merelakan dirinya untuk disantap, supaya ia lepas dari dunia fana ini.
Dari sini jelaslah bahwa Bubuksah itu pengikut Buddha yang suci
sekalipun ia tidak keras dalam tapanya. Ia mendapat tempat di surga.
Cerita ini mengungkapkan suatu polemik, yang menunjukan keunggulan agama
Buddha. Sekalipun demikian carrita ini dilukiskan pada candi Prambanan.
Dari sini makin jelas bahwa unsur-unsur indonesia asli makin kedepan yang diuraikan dalam bentuk agama Hindu dan Buddha.
Masa Abad ke-20
Gunung api akan meluapkan baranya Lima ratus tahun dari sekarang Ajaran Buddha akan kembali Kemudian sang hulubalang menghilang dari depan seterunya, setelah memilih untuk tetap mempertahankan apa yang diyakininya, dengan hanya meninggalkan beberapa baris ramalan. Tahun 1478, kerajaan Majapahit berakhir. Kala itu ikut runtuh juga pilar-pilar kejayaan agama Buddha di nusantara. Rakyat yang setia memeluk agama Siwa-Buddha mengungsi dan berkumpul di berbagai tempat di Jawa Timur dan pulau Bali.
Gunung api akan meluapkan baranya Lima ratus tahun dari sekarang Ajaran Buddha akan kembali Kemudian sang hulubalang menghilang dari depan seterunya, setelah memilih untuk tetap mempertahankan apa yang diyakininya, dengan hanya meninggalkan beberapa baris ramalan. Tahun 1478, kerajaan Majapahit berakhir. Kala itu ikut runtuh juga pilar-pilar kejayaan agama Buddha di nusantara. Rakyat yang setia memeluk agama Siwa-Buddha mengungsi dan berkumpul di berbagai tempat di Jawa Timur dan pulau Bali.
Seratus lima puluh
tahun berselang, bangsa Indonesia dijajah Belanda. Ikut datang bersama
kaum penjajah, evangelis-evangelis yang menyebarkan agama Kristen.
Selain itu, terdapat juga cendikiawan Belanda yang datang, untuk
keperluan meneliti sejarah dan kebudayaan bangsa yang dijajah. Belanda
mempelajari itu semua, tentu dengan tujuan untuk melanggengkan
penguasaan bangsanya atas bangsa yang terjajah.
Ajaran spiritualisme yang menonjol dikalangan orang Belanda yang ikut datang ke Indonesia adalah apa yang dikenal sebagai Perhimpunan Theosofi. Ajaran Theosofi memberikan tekanan pada aspek persaudaraan antar manusia, tanpa membedakan ras, bangsa, maupun agama. Sehingga ada juga orang Indonesia berpendidikan yang ikut menjadi anggota Theosofi.
Ajaran spiritualisme yang menonjol dikalangan orang Belanda yang ikut datang ke Indonesia adalah apa yang dikenal sebagai Perhimpunan Theosofi. Ajaran Theosofi memberikan tekanan pada aspek persaudaraan antar manusia, tanpa membedakan ras, bangsa, maupun agama. Sehingga ada juga orang Indonesia berpendidikan yang ikut menjadi anggota Theosofi.
Disamping dua
kelompok diatas – penganut theosofi dan penganut Siwa-Buddha – ritual
agama Buddha yang telah membaur dengan tradisi Tiongkok juga dipraktekan
oleh kalangan Tionghoa di Indonesia. Agama Tionghoa secara tradisional
merupakan perbauran antara agama Buddha, Konfusianisme dan Taoisme.
Ajaran agama Buddhanya adalah ajaran dari tradisi utara atau secara umum
dikenal sebagai aliran Mahayana.
Tidak jarang, biksu-biksu dari Tiongkok datang memberikan bimbingan di kelenteng-kelenteng. Namum pada umumnya yang mereka berikan hanya penjelasan mengenai bentuk-bentuk upacara seperti bagaimana memasang hio dan cara-cara sembahyang, menjaga lilin dan sebagainya. Jarang sekali mengungkapkan ajaran Buddha secara rinci.
Ditahun 1920-an muncul satu tokoh di kalangan ini yang bernama Kwee Tek Hoay, seorang pedagang , penulis yang tajam dan juga budayawan. Ia pulalah yang mula-mula menerbitkan majalah berbahasa Indonesia berisikan ajaran agama BUddha , dengan nama Moestika Dharma.
Tidak jarang, biksu-biksu dari Tiongkok datang memberikan bimbingan di kelenteng-kelenteng. Namum pada umumnya yang mereka berikan hanya penjelasan mengenai bentuk-bentuk upacara seperti bagaimana memasang hio dan cara-cara sembahyang, menjaga lilin dan sebagainya. Jarang sekali mengungkapkan ajaran Buddha secara rinci.
Ditahun 1920-an muncul satu tokoh di kalangan ini yang bernama Kwee Tek Hoay, seorang pedagang , penulis yang tajam dan juga budayawan. Ia pulalah yang mula-mula menerbitkan majalah berbahasa Indonesia berisikan ajaran agama BUddha , dengan nama Moestika Dharma.
Dari majalah Moestika
Dharma yang terbit pada tahun 1932 diketahui bahwa telah ada organisasi
Buddhis yang bernama Java Buddhists Association, dibawah pimpinan
Ernest Erle Power (ketua) dan Josiast v. Dienst (sekretaris). Organisasi
ini merupakan bagian dari The International Buddhists Missionary yang
berpusat di Thanton, Myanmar. Java Buddhists Association berorientasi
pada agama Buddha aliran Theravada.
Kedatangan Pandita
Josias membuka pikiran banyak tokoh-tokoh masyarakat yang memperhatikan
agama Buddha. Dikelenteng, waktu ia berdiskusi dengan bhiksu-bhiksu,
banyak tokoh-tokoh kelenteng yang ikut mendengarkan. Pembicaraan antara
upasaka keturunan Belanda itu dengan tokoh kelenteng berkisar pada
ajaran agama Buddha dan perkembangannya di Pulau Jawa.
Atas jasa Kwee Tek
Hoay, terselenggara dialog antara Josiast v. Dients dan Bhiksu Lin Feng
Fei, kepala kelenteng Kwan Im Tong di Prinsenlaan (mangga besar),
Jakarta. Dialog itu menghasilkan kesepakatan bahwa kelenteng sebagai
tempat ibadah umat Buddha tidak hanya digunakan sebagai tempat pemujaan
saja, melainkan pula sebagai tempat untuk mendapatkan pelajaran agama
Buddha.
Sebagai tindak lanjut
dari kesepakatan itu, Bhiksu Lin Feng Fei mengizinkan Josiast
memberikan ceramah agama Buddha di kelenteng Kwan Im Tong. Kemudian
Kongkoan (Chineesche Raad), suatu badan yang mengorganisir
kelenteng-kelenteng di Jakarta, mengizinkan pula Josiast memberikan
ceramah di kelenteng-kelenteng di sekitar Jakarta.
Pada tahun 1934, tanggal 4 Maret, Bhikkhu Narada Thera, seorang evangelis Buddhist yang terkenal dari Srilangka, datang ke Indonesia untuk pertama kalinya dalam lawatan ke Asia Tenggara, atas undangan Ong Soe An, seorang tokoh Theosifi dari Bandung.
Pada tahun 1934, tanggal 4 Maret, Bhikkhu Narada Thera, seorang evangelis Buddhist yang terkenal dari Srilangka, datang ke Indonesia untuk pertama kalinya dalam lawatan ke Asia Tenggara, atas undangan Ong Soe An, seorang tokoh Theosifi dari Bandung.
Selama di Pulau Jawa,
Bhikkhu Narada mengunjungi Batavia, Buitenzorg (Bogor), Bandung, Yogya
dan Solo. Di lima kota ini Bhikkhu narada memberikan ceramah-ceramah
tentang ajaran agama Buddha.
Oleh aktivis
Theosofi, kedatangan Bhikkhu Narada dimanfaatkan untuk memperluas
wawasan mengenai ajaran Buddha. Sewaktu mengunjungi Candi Borobudur, di
Magelang, pada tanggal 10 Maret 1934, Bhikkhu Narada memberkati
penanaman Pohon Bodhi yang dilakukan oleh pemuka Theosofi Yogya, Mr. E
E. Power. Sepulangnya dari Borobudur, pada malam harinya, Bhikkhu Narada
Thera menahbiskan beberapa orang upasaka di Yogya. Diantaranya terdapat
seorang jawa bernama Mangunkawatja.
Pada tahun itu juga
dibentuk Java Buddhists Association Afdeeling Batavia (Jakarta) dengan
ketuanya J.W. de Witt dan sekretarisnya DR. R. Ng. poerbatjaraka.
Disamping itu dibentuk juga Java Buddhists Association Afdeeling
Buitenzorg (Bogor) dibawah pimpinan A. van der Velde (ketua) dan Oeij
Oen Ho (sekretaris). Tak lama kemudian, tanggal 10 Mei 1934, Java
Buddhists Association Afdeeling Batavia melepaskan diri dari Java
Buddhists Association pusat dan berdiri sendiri dengan nama Batavia
Budhists Association dibawah pimpinan Kwee Tek Hoay (ketua) dan Ny. Tjoa
Hin Hoey (sekretaris). Dalam majalah Moestika Dharma, Kwee Tek Hoay
menjelaskan bahwa pemisahan ini bukan merupakan pemecahan tapi untuk
dapat bergerak lebih leluasa. Batavia Buddhists Association ini condong
menyebarkan ajaran Mahayana, berbeda dengan Java Buddhist Association
yang Theravada.
Pada tahun 1934 itu
juga dibentuk suatu organisasi pusat (semacam Walubi) yang bernama
Central Buddhistische Institut Voor Java dengan media cetak berbahasa
Belanda yang bernama De Dharma in Nederlandsche Indie.
Pada tahun 1935 oleh
Kwee Tek Hoay telah banyak dibentuk Sam Kauw Hwee, yaitu
organisasi-organisasi setempat yang anggotanya terdiri dari penganut
agama Buddha, Konghucu dan Tao, dengan media cetak bernama Sam Kauw Goat
Poo yang berbahasa Indonesia. Tujuan Organisasi ini pada dasarnya
adalah untuk mencegah orang Cina dan keturunan Cina menjadi penganut
ajaran agama lain. Selama pendudukan Jepang, semua kegiatan organisasi
Buddhist terhenti. Baru kemudian pada tahun 1952, Sam Kauw Hwee – Sam
Kauw Hwee ini digiatkan kembali dengan menggabungkan diri menjadi
Perkumpulan Sam Kauw Hwee Indonesia.
Masa Setelah Kemerdekaan Indonesia
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1969 telah terdapat berbagai organisasi Buddhis yang merupakan organisasi sosial kemasyarakatan dan sekaligus melakukan pengembangan kualitas umat dan kualitas kehidupan beragama umat Buddha. Diantaranya adalah :
1. Gabungan Tridharma Indonesia (GTI)Gabungan Tridharma Indonesia adalah merupakan penggabungan beberapa Sam Kauw Hwee. Perkumpulan Sam Kauw Hwee Indonesia bergabung dengan Thian Lie Hwee yang dipimpin oleh almarhum Ong Tiang Biauw (yang kemudian menjadi Bhikkhu Jinaputta) dan Gabungan Khong Kauw Hwee Indonesia (GAPAKSI). Bagian kebaktian dari Sin Ming Hui (Perkumpulan Sosial Candrayana) dan Buddha Tengger, membentuk Gabungan Sam Kauw Indonesia (GKSI) di bawah pimpinan The Boan An sebagai ketua pada tahun 1953. Setelah The Boan An di tasbihkan menjadi Bhikkhu pada tahun 1954 di Myanmar dengan nama Bhikkhu Jinarakkhita, ketua GKSI beralih kepada DRS. Khoe Soe Kiam (Drs. Sasana Surya). Pada tahun 1962, GKSI berganti nama menjadi Gabungan tridharma Indonesia (GTI).
2. Perhimpunan Buddhis Indonesia (PERBUDHI)Beberapa tokoh umat Buddha dari suku Jawa, diantaranya Sosro Utomo dari Buddha Tengger, melihat bahwa sukar bagi orang Jawa untuk tetap bergabung dengan GTI. Oleh sebab itu untuk pertumbuhan umat disarankan membentuk organisasi baru yang memungkinkan orang Jawa menjadi anggotanya. Tahun 1967 dibentuk Persatuan Buddhis Indonesia (PERBUDHI) dengan ketua umum pertamanya Sosro Utomo. Dalam kongres pertamanyatahun 1978 diganti namanya menjadi Perhimpunan Buddhis Indonesia (PERBUDHI) dengan ketua umum Sariputra Sudono, dan kemudian berturut-turut sebagai ketua umum adalah Kolonel Soemantri M.S. dan Brigjen. Suraji A.A. Atas usaha Bhikkhu JInarakkhita Perbuddhi dengan cepat berkembang dan menyebar ke luar pulau Jawa. Sejak permulaan tahun 60-an kelihatan ketidak-serasian antara Bhikkhu Jinarakkhita dan Perbudhi dengan GTI, yang pada akhirnya berakibat GTI melarang anggotanya menjadi anggota Perbudhi.
3. Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia (MUSBI)Dalam tubuh Perbudhi terdapat kelompok Upasaka dan Upasika yang merupakan kelompok elit dalam Perbudhi. Kelompok ini harus menjadi anggota perbudhi dan terikat dalam persaudaraan yang disebut Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) yang dibentuk pada tahun 1956 oleh Bhikkhu Jinarakkhita dan merupakan pembantu Sangha dan bertanggung jawab kepada Sangha Suci Indonesia pimpinan Bhikkhu Jinarakkhita. Beberapa anggota Perbudhi dari Yogya dan Jawa Tengah menentang adanya kelompok ini. Mereka berpendapat bahwa roda organisasi Perbudhi tidak dapat berjalan dengan baik karena Upasaka-Upasika ini tidak tunduk kepada keputusan kongres, tetapi kepada Sangha. Sedangkan pihak lainnya memandang perlu adanya PUUI. Tahun 1962 mereka yang menolak PUUI menyatakan keluar dari Perbudhi dan membentuk Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia (MUSBI) dibawah pimpinan Drs. Soeharto Djojosumpeno dari Yogya, yang terakhir menjabat sebagai staf pada Lemhanas.
4. Buddhis IndonesiaTahun 1965 Perbudhi cabang Semarang melepaskan diri dari Perbudhi dan membentuk Buddhis Indonesia yang bermarkas di Vihara Tanah Putih Semarang. Buddhis Indonesia mendapat dukungan dari berbagai cabang Perbudhi di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan menyatakan diri menjadi cabang Buddhis Indonesia. Awal perpecahan ini adalah ketidak-serasian dan masalah pribadi antara tokoh-tokoh Busshid di Semarang dan Jawa Tengah dengan tokoh sentral umat Buddha, tetapi sebagai alasan untuk keluar dari Perbudhi adalah keikut-sertaan Perbudhi dalam Konferensi World Buddhists of Fellowship (WFB) di Bangkok yang hadir pula utusan dari Malaysia. Pada waktu itu Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia.
Pada bulan Juli 1965 diadakan pertemuan antar organisasi-organisasi Buddhis yang ada untuk membuat landasan kerukunan dan kerjasana. Pertemuan ini dilanjutkan lagi pada bulan Agustus 1966 dan Oktober 1966. Pada pertemuan mereka bulan Februari 1967 berhasil dibentuk Federasi Umat Buddha Indonesia yang anggotanya adalah :
1. Buddhis Indonesia 2. Gabungan Tridharma Indonesia 3. Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia 4. Agama Hindu-Buddha Tengger 5. Agama Buddha Wisnu Indonesia
Perbudhi tidak mau bergabung dengan Federasi Umat Buddha Indonesia karena diantara anggota Federasi Umat Buddha Indonesia ini ada yang telah mengeluarkan pernyataan bersama yang merugikan Sangha Suci Indonesia dan Perbudhi. Dalam Maha Samaya II (kongres PUUI) yang diselenggarakan 16-18 Maret 1969 di Bandung, yang dihadiri pula oleh Perbudhi dan Maha Sangha Indonesia, dibentuk Majelis Tertinggi Seluruh Umat Buddha Indonesia yang berfungsi menetapkan kebijaksanaan dalam keagamaan dan bertanggung jawab kepada Maha Sangha Indonesia. Pimpinan majelis ini adalah Bhikkhu Girirakkhito (ketua umum) dan Brigjen Suraji Aryakertawijaya (sekjen).
Masa Setelah Kemerdekaan Indonesia
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1969 telah terdapat berbagai organisasi Buddhis yang merupakan organisasi sosial kemasyarakatan dan sekaligus melakukan pengembangan kualitas umat dan kualitas kehidupan beragama umat Buddha. Diantaranya adalah :
1. Gabungan Tridharma Indonesia (GTI)Gabungan Tridharma Indonesia adalah merupakan penggabungan beberapa Sam Kauw Hwee. Perkumpulan Sam Kauw Hwee Indonesia bergabung dengan Thian Lie Hwee yang dipimpin oleh almarhum Ong Tiang Biauw (yang kemudian menjadi Bhikkhu Jinaputta) dan Gabungan Khong Kauw Hwee Indonesia (GAPAKSI). Bagian kebaktian dari Sin Ming Hui (Perkumpulan Sosial Candrayana) dan Buddha Tengger, membentuk Gabungan Sam Kauw Indonesia (GKSI) di bawah pimpinan The Boan An sebagai ketua pada tahun 1953. Setelah The Boan An di tasbihkan menjadi Bhikkhu pada tahun 1954 di Myanmar dengan nama Bhikkhu Jinarakkhita, ketua GKSI beralih kepada DRS. Khoe Soe Kiam (Drs. Sasana Surya). Pada tahun 1962, GKSI berganti nama menjadi Gabungan tridharma Indonesia (GTI).
2. Perhimpunan Buddhis Indonesia (PERBUDHI)Beberapa tokoh umat Buddha dari suku Jawa, diantaranya Sosro Utomo dari Buddha Tengger, melihat bahwa sukar bagi orang Jawa untuk tetap bergabung dengan GTI. Oleh sebab itu untuk pertumbuhan umat disarankan membentuk organisasi baru yang memungkinkan orang Jawa menjadi anggotanya. Tahun 1967 dibentuk Persatuan Buddhis Indonesia (PERBUDHI) dengan ketua umum pertamanya Sosro Utomo. Dalam kongres pertamanyatahun 1978 diganti namanya menjadi Perhimpunan Buddhis Indonesia (PERBUDHI) dengan ketua umum Sariputra Sudono, dan kemudian berturut-turut sebagai ketua umum adalah Kolonel Soemantri M.S. dan Brigjen. Suraji A.A. Atas usaha Bhikkhu JInarakkhita Perbuddhi dengan cepat berkembang dan menyebar ke luar pulau Jawa. Sejak permulaan tahun 60-an kelihatan ketidak-serasian antara Bhikkhu Jinarakkhita dan Perbudhi dengan GTI, yang pada akhirnya berakibat GTI melarang anggotanya menjadi anggota Perbudhi.
3. Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia (MUSBI)Dalam tubuh Perbudhi terdapat kelompok Upasaka dan Upasika yang merupakan kelompok elit dalam Perbudhi. Kelompok ini harus menjadi anggota perbudhi dan terikat dalam persaudaraan yang disebut Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) yang dibentuk pada tahun 1956 oleh Bhikkhu Jinarakkhita dan merupakan pembantu Sangha dan bertanggung jawab kepada Sangha Suci Indonesia pimpinan Bhikkhu Jinarakkhita. Beberapa anggota Perbudhi dari Yogya dan Jawa Tengah menentang adanya kelompok ini. Mereka berpendapat bahwa roda organisasi Perbudhi tidak dapat berjalan dengan baik karena Upasaka-Upasika ini tidak tunduk kepada keputusan kongres, tetapi kepada Sangha. Sedangkan pihak lainnya memandang perlu adanya PUUI. Tahun 1962 mereka yang menolak PUUI menyatakan keluar dari Perbudhi dan membentuk Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia (MUSBI) dibawah pimpinan Drs. Soeharto Djojosumpeno dari Yogya, yang terakhir menjabat sebagai staf pada Lemhanas.
4. Buddhis IndonesiaTahun 1965 Perbudhi cabang Semarang melepaskan diri dari Perbudhi dan membentuk Buddhis Indonesia yang bermarkas di Vihara Tanah Putih Semarang. Buddhis Indonesia mendapat dukungan dari berbagai cabang Perbudhi di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan menyatakan diri menjadi cabang Buddhis Indonesia. Awal perpecahan ini adalah ketidak-serasian dan masalah pribadi antara tokoh-tokoh Busshid di Semarang dan Jawa Tengah dengan tokoh sentral umat Buddha, tetapi sebagai alasan untuk keluar dari Perbudhi adalah keikut-sertaan Perbudhi dalam Konferensi World Buddhists of Fellowship (WFB) di Bangkok yang hadir pula utusan dari Malaysia. Pada waktu itu Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia.
Pada bulan Juli 1965 diadakan pertemuan antar organisasi-organisasi Buddhis yang ada untuk membuat landasan kerukunan dan kerjasana. Pertemuan ini dilanjutkan lagi pada bulan Agustus 1966 dan Oktober 1966. Pada pertemuan mereka bulan Februari 1967 berhasil dibentuk Federasi Umat Buddha Indonesia yang anggotanya adalah :
1. Buddhis Indonesia 2. Gabungan Tridharma Indonesia 3. Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia 4. Agama Hindu-Buddha Tengger 5. Agama Buddha Wisnu Indonesia
Perbudhi tidak mau bergabung dengan Federasi Umat Buddha Indonesia karena diantara anggota Federasi Umat Buddha Indonesia ini ada yang telah mengeluarkan pernyataan bersama yang merugikan Sangha Suci Indonesia dan Perbudhi. Dalam Maha Samaya II (kongres PUUI) yang diselenggarakan 16-18 Maret 1969 di Bandung, yang dihadiri pula oleh Perbudhi dan Maha Sangha Indonesia, dibentuk Majelis Tertinggi Seluruh Umat Buddha Indonesia yang berfungsi menetapkan kebijaksanaan dalam keagamaan dan bertanggung jawab kepada Maha Sangha Indonesia. Pimpinan majelis ini adalah Bhikkhu Girirakkhito (ketua umum) dan Brigjen Suraji Aryakertawijaya (sekjen).
Pada tahun 1959 oleh
Bhikkhu Jinarakkhita dibentuk Sangha Indonesia yang terdiri dari
bhikkhu-bhikkhu dan samanera yang ditasbihkan menurut mazhab Theravada.
Kemudian Sangha Indonesia diubah menjadi Sangha Suci Indonesia dan pada
tahun 1968 diubah lagi menjadi Maha Sangha Indonesia yang terdiri dari
bhikkhu-bhikkhu Theravada dan Mahayana.
Perpecahan dan
perselisihan diantara umat Buddha sampai tahun 1969 pada umumnya
didasarkan pada perselisihan pribadi. Perpecahan diantara para bhikkhu
dalam Maha Sangha Indonesia diwarnai dengan adanya perbedaan dalam
pemahaman Vinaya dan Dharma.
Beberapa bhikkhu
Theravada menghendaki para bhikkhu tidak campur tangan mengenai
perpecahan ini dan berdiri sendiri sebagai panutan. Karena usaha ini
tidak berhasil, maka para bhikkhu tersebut keluar dari Maha Sangha
Indonesia ada membentuk Sangha Indonesia pada tanggal 12 Januari 1972.
Sangha Indonesia
mendapat dukungan dari organisasi-organisai yang terhimpun dalam
Federasi Umat Buddha Indonesia dan dari organisasi lain seperti Perbudhi
dan Persaudaraan Umat BUddha Salatiga. Dukungan PErbudhi terhadap
Sangha Indonesia dan menyatakan sebagai Pengayom Perbudhi disamping Maha
Sangha Indonesia telah menyebabkan PUUI, yang namanya telah diganti
menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI) menyatakan keluar
dari Perbudhi.
Untuk mencegah
perpecahan supaya tidak meluas, atas prakarsa Brigjen Saparjo, dilakukan
pertemuan untuk mengadakan musyawarah. Setelah beberapa kali pertemuan,
pada tanggal 26 Mei 1972 dibuat ikrar di Candi Borobudur untuk
membentuk wadah tunggal umat Buddha Indonesia. Ikrar tersebut
ditanda-tangani oleh:
1.Suryaputta Ks Suratin (Buddhis Indonesia) 2.Brigjen Sumantri MS (MUABI) 3.Brigjen Suraji Ariya kertawijaya (Perbudhi) 4.Djoeri (MUSBI) 5.Drs. Sasana Surya (GTI) 6.Soepangat Prawirokoesoemo SH (Persaudaraan Umat Buddha Salatiga)
Wadah tunggal itu merupakan peleburan semua organisasi Buddhis dan bernama Buddha Dharma Indonesia disingkat BUDHI. Disamping itu juga dibentuk Majelis Buddha Dharma Indonesia yang anggotanya terdiri dari para pemuka agama Buddha dan cendikiawan Buddhis dari berbagai sekte. Majelis ini berfungsi menetapkan kebijaksanaan keagamaan.
1.Suryaputta Ks Suratin (Buddhis Indonesia) 2.Brigjen Sumantri MS (MUABI) 3.Brigjen Suraji Ariya kertawijaya (Perbudhi) 4.Djoeri (MUSBI) 5.Drs. Sasana Surya (GTI) 6.Soepangat Prawirokoesoemo SH (Persaudaraan Umat Buddha Salatiga)
Wadah tunggal itu merupakan peleburan semua organisasi Buddhis dan bernama Buddha Dharma Indonesia disingkat BUDHI. Disamping itu juga dibentuk Majelis Buddha Dharma Indonesia yang anggotanya terdiri dari para pemuka agama Buddha dan cendikiawan Buddhis dari berbagai sekte. Majelis ini berfungsi menetapkan kebijaksanaan keagamaan.
Pada tanggal 14
Januari 1974, atas prakarsa Dirjen Bimas Hindu-Buddha, diadakan
pertemuan antara Sangha Indonesia dan Maha Sangha Indonesia. Dalam
peretemua itu, disepakati untuk melebur Sangha Indonesia dan Maha Sangha
Indonesia menjadi Sangha Agung Indonesia dan setiap bhikkhu akan
melaksanakan Vinaya berdasarkan sekte masing-masing. Terpilih sebagai
ketua adalah MNS Jinarakkhita dan wakilnya Bhikkhu Jinapiya Thera.
Akan tetapi,
pertemuan selanjutnya untuk menetapkan antara lain struktur dan fungsi
organisasi Sangha Agung Indonesia tidak pernah dpat dilaksanakan.
Konsensus yang dibuat pada tanggal 14 Januari tersebut tidak dapat
diwujudkan.
Sebegitu jauh
kerukunan, persatuan dan kesatuan masih belum dapat diwujudkan,
sedangkan pertentangan antar organisasi makin meningkat, atas dasar
Dirjen Bimas Hindu-Buddha dilakukan pertemuan pimpinan organisasi
Buddhis dan para pemuka agama Buddha pada tahun 1976 di Jakarta. Dalam
pertemuan itu disadari bahwa organisasi Buddhis mempunyai dua bentuk
kegiatan, yaitu : aspek sosial kemasyarakatan dan aspek pembinaan
kehidupan keagamaan yang dilakukan oleh para rohaniawan dari sekte yang
bersangkutan. Dalam keadaan yang demikian sukarlah untuk terbentuk satu
wadah tunggal bagi umat Buddha karena masing-masing sekte mempunyai
tradisi dan upacara keagamaan yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Oleh karena itu kedua aspek kegiatan organisasi Buddhis yang ada
dipisahkan dan masing-masing dihimpun dalam wadah tunggal.
Aspek sosial
kemasyarakatan dihimpun dalam wadah tunggal non sektarial yang dinamakan
Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia (GUBSI) dibawah pimpinan R. Eko
Sasongko Pratomo SH (ketua) dan Drs. Aggi Tjetje (sekjen). Aspek
kerohanian menjadi Majelis Agama yang mewakili sekte agama Buddha yang
ada. Bidang kerohanian BUDHI tumbuh menjadi Majelis Pandita Buddha
Dharma Indonesia ( MAPANBUDHI). Dari kelompok Tridharma, dinamakan
Majelis Rohaniawan Tridharma se Indonesia ( Martrisia). Kemudian dalam
pertemuan berikutnya, dibentuk Majelis Agung Agama Buddha Indonesia MABI
yang berbebtuk federasi.
MUABI kemudian
mengundurkan diri dari MABI. MUABI pecahannya menjadi Lembaga Dharmaduta
Kasogatan Indonesia yang akhirnya menjadi Majelis Dharmaduta Kasogatan
Tantrayana Indonesia, yang di pimpin oleh alm Giriputta Sumarsono dan
kemudian Drs. Oka Diputhera. MUABI kemudian diganti menjadi Majelis
Buddhayana Indonesia (MBI).
Bhikkhu-bhikkhu Theravada yang terhimpun dalam Sangha Agung Indonesia mengundurkan diri dan bersama-sama dengan bhikkhu-bhikkhu Theravada yang baru pulang dari belajar diluar negri, membentuk Sangha Theravada Indonesia. Demikian pula dengan Bhikkhu Mahayana yang ada di Sangha Agung Indonesia mengundurkan diri dan kemudian membentuk Sangha Mahayana Indonesia. Dengan demikian di Indonesia terdapat tiga Sangha : Sangha Agung Indonesia, Sangha Theravada Indonesia dan Sangha Mahayana Indonesia.
Bhikkhu-bhikkhu Theravada yang terhimpun dalam Sangha Agung Indonesia mengundurkan diri dan bersama-sama dengan bhikkhu-bhikkhu Theravada yang baru pulang dari belajar diluar negri, membentuk Sangha Theravada Indonesia. Demikian pula dengan Bhikkhu Mahayana yang ada di Sangha Agung Indonesia mengundurkan diri dan kemudian membentuk Sangha Mahayana Indonesia. Dengan demikian di Indonesia terdapat tiga Sangha : Sangha Agung Indonesia, Sangha Theravada Indonesia dan Sangha Mahayana Indonesia.
Lebih lanjut, Menteri
Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara mengadakan pertemuan dengan pimpinan
semua majelis dan sangha yang ada di Indonesia. Dalam pertemuan ini
semua majelis ada sangha menyatakan semua sekte agama Buddha yang ada,
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sebutan yang berbeda-beda.
Dalam pertemuan ini dibentuk Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI)
yang mewakili umat Buddha pada tahun 1978. Nama Perwalian Umat Buddha
Indonesia di berikan oleh Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara.
Era Walubi
Era Walubi
Masa selanjutnya
adalah masa Walubi yang dibentuk pada tahun 1978. Walubi dalam rapat
anggotannya tanggal 21 desember 1978 mendukung pernyataan MABI yang
menyatakan bahwa seluruh aliran dan sekte-sekte agama Buddha
berkeyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun demikian
MUABI dan Sangha Agung Indonesia masih berada di luar Walubi.
Disamping itu atas
jasa baik seorang pejabat tinggi pemerintah, pada bulan Januari itu juga
diadakan pertemuan para pemuka agama dan organisasi Buddhis. Dalam
pertemuan itu dibahas apa yang menjadi persoalan diantara umat Buddha
dan disepakati akan mengadakan lokakarya sebelum bulan Pebruari 1979.
Dalam pertemuan itu Niciren Syosyu Indonesia (NSI) tidak diikut-sertakan
karena salah seorang pemuka umat Buddha dari MUABI tidak memandang NSI
sebagai bagian dari rumpun umat Buddha. NSI yang mengakui sebagai agama
Buddha yang sama dengan Majelis-majelis lainnya dan menyetujui
kesepakatan yang telah dihasilkan dalam pertemuan tersebut diatas diikut
sertakan dalam lokakarya yang diselenggarakan bulan Februari 1978.
Lokakarya yang
dilaksanakan pada tanggal 20 Februari 1978 di Jakarta menghasilkan
dokumen “Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama Buddha dalam kepribadian
Nasional Indonesia”. Hasil lokakarya ini merupakan dasar untuk
mengadakan Kongres Umat Buddha Indonesia.
Setelah diadakan
prakongres, Kongres Umat Buddha Indoensia diselenggarakan pada tanggal 8
Mei 1979 di Yogyakarta. Hasil kongres itu antara lain Kode Etik,
Kriteria agama Buddha, Ikrar Umat Buddha Indoensia dan pengukuhan Hasil
Keputusan Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama Buddha Dengan Kepribadian
Nasional Indonesia.
Ikrar Umat Buddha yang isinya antara lain akan melaksanakan dengan sepenuh hati dan sebaik- baiknya semua Ketetapan dan Keputusan Kongres Umat Buddha Indonesia, dinyatakan dalam forum terbuka dihadapan Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara dalam Upacara Waisak Nasional pada tanggal 10 Mei 1979 di Candi Mendut dan ditandatangani oleh semua Sangha dan Majelis Agama Buddha, termasuk NSI yang pada waktu itu mengakui sebagai agama Buddha yang sama dengan Majelis-majelis lainnya.
Ikrar Umat Buddha yang isinya antara lain akan melaksanakan dengan sepenuh hati dan sebaik- baiknya semua Ketetapan dan Keputusan Kongres Umat Buddha Indonesia, dinyatakan dalam forum terbuka dihadapan Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara dalam Upacara Waisak Nasional pada tanggal 10 Mei 1979 di Candi Mendut dan ditandatangani oleh semua Sangha dan Majelis Agama Buddha, termasuk NSI yang pada waktu itu mengakui sebagai agama Buddha yang sama dengan Majelis-majelis lainnya.
Hasil Kongres Umat
Buddha tersebut merupakan dasar dan besar artinya untuk mewujudkan
kerukunan, persatuan dan kesatuan umat Buddha di Indonesia. Oleh sebab
itu, dikukuhkan dalam Kongres I Walubi pada tahun 1986 di Jakarta.
Dengan adanya hasil
Kongres yang merupakan dasar kerukunan, persatuan dan kesatuan umat
Buddha bukanlah berarti kerukunan itu akan segera tercipta. Tidaklah
mudah untuk melaksanakan program Walubi pada tahun-tahun pertama
terbentuknya.
Pada tahun 1981 dengan dalih Anggaran Dasar Walubi tidak sah diadakan Kongres Luar Biasa Walubi untuk membuat Anggaran Dasar baru. hasil Kongres Luar Biasa tersebut ternyata adalah penggantian DPP Walubi. Ketua umum yang baru adalah Soemantri Mohammad Saleh dan Sekjen Seno Sunoto dari NSI.
Pada tahun 1981 dengan dalih Anggaran Dasar Walubi tidak sah diadakan Kongres Luar Biasa Walubi untuk membuat Anggaran Dasar baru. hasil Kongres Luar Biasa tersebut ternyata adalah penggantian DPP Walubi. Ketua umum yang baru adalah Soemantri Mohammad Saleh dan Sekjen Seno Sunoto dari NSI.
Penggantian pimpinan
Walubi tidaklah membawa peningkatan pada kerukunan intern Umat Buddha
dan terlaksananya program Walubi, tetapi sebaliknya Sambutan Hari Raya
Waisak dari Seno Sutono selaku Sekjen Walubi yang dimuat dalam surat
kabar ‘Sinar Harapan’ pada tahun 1983 adalah bertentangan dengan kode
etik dan hasil lokakarya pemantapan ajaran agama Buddha. Dalam
sambutannya itu Seno Sutono mengubah Hari Raya Waisak sebagai hari balas
Budi bagi umat Buddha yang didasarkan pada filsafat dan pandangan hidup
orang Jepang.
Protes-protes dalam
surat kabar dapat dihentikan agar tidak menimbulkan keresahan dan
mengganggu kerukunan lebih lanjut dikalangan umat Buddha. Masalah
tersebut akan diselesaikan oleh DP Walubi Pusat. Akan tetapi masalah
tersebut tidak pernah diselesaikan.
Kemudian pada awal
tahun 1985 timbul kembali kepermukaan keresahan dikalangan umat Buddha
di Jawa Tengah, terutama di Wonogiri tentang adanya Buddha lain
disamping Buddha Gautama. Dalam konsultasi pejabat Direktorat Jendral
Bimas Hindu-Buddha dengan pemuka agama Buddha, Seno mengakui bahwa
NIciren Daisyonim adalah seorang Buddha.
Permasalahan tentang
adanya dua Buddha yang bertentangan dengan kriteria agama Buddha, kode
etik dan hasil lokakarya pemantapan ajaran agama Buddha dan merusak
kerukunan intern umat Buddha, tidak diselesaikan oleh DPP Walubi sampai
pada Kongres I Walubi tahun 1986. Kongres I Walubi diselenggarakan
tanggal 8 – 11 Juli 1986 mengukuhkan hasil-hasil kongres umat Buddha
Indonesia tentang kode etik, kriteria agama Buddha di Indonesia, agama
Buddha dengan kepribadian nasional Indonesia, ikrar umat Buddha
Indonesia. Dalam kongres I Walubi itu terpilih sebagai ketua umum adalah
Bhikkhu Girirakkhita Maha Thera dan wakilnya adalah Drs. Aggi Tjetje.
Berdasarkan fatwa
Widyeka Sabha Walubi dan secara historis, faktual dan keimanan, Buddha
masa kini adalah tetap Buddha Gautama. Hal ini berakibat tidak diakuinya
Niciren Syosyu Indoensia sebagai bagian dari rumpun agama Buddha, Oleh
karena itu NSI dikeluarkan dari Walubi pada tanggal 10 Juli 1987.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan beberapa pakar sejarah di tanah air, hingga
saat ini masih terdapat berbagai pendapat yang berbeda tentang kapan
masiknya agama Buddha di Indonesia. Namun satu hal yang dapat dicatat
dalam sejarah, berdasarkan pada catatan perjalanan Fa Hien, seorang
misionaris Buddha asal China, sekitar tahun 414 masehi, telah ada
penganut agama Buddha di pulau Jawa, walaupun masih dalam jumlah yang
tidak banyak.
Kemudian, berdasarkan catatan sejarah, atas usaha Bhikshu Gunawarman, pada tahun 423 Masehi, agama Buddha mulai berekembang di pulau Jawa. Sedangkan perkembangan agama Buddha di Sumatera tercatat pada catatan perjalanan I-Tsing, seorang bhikshu dari China yang dalam perjalanan pulang nya ke China singgah dan menetap beberapa waktu ke Sriwijaya di Palembang yang terletak di pulau Sumatera Selatan (685-695M).
Perkembangan Mazhab Tantrayana di Indonesia
Mazhab Tantrayana berkembang dengan pesatnya dibumi persada Indonesia, terutama pada masa-masa kerajaan Mataram kuno, Singasari dan Majapahit. Perkembangan yang demikian pesatnya seiring dan sejalan dengan mazhab-mazhab lkainnya, bahkan dengan agama Hindu yang juga banyak dianutnya pada masa-masa tersebut.
Bukti-bukti pesatnya perkembangan mazhab Tantrayana pada masa-masa tersebut, antara lain :
1. Pada masa Kerajaan Kuno : Candi-candi Buddha :
1. Candi Kalasan, dekat Jogjakarta, didirikan tahun 778 M.
2. Candi Sari, dekat Candi Kalasan.
3. Candi Borobudur, dekat Magelang, didirikan tahun 826 M.
4. Candi Mendut, di sebelah Timur Candi Borobudur, didirikan tahun 809 M.
5. Candi Pawon, merupakan gerbang Candi Borobudur, didirikan tahun 826 M.
6. Gugusan Candi Ngawen, dekat Muntilan.
7. Gugusan Candi Sewu, dekat Prambanan.
8. Gugusan Candi Plaosan, disebelah Timur Candi Sewu.
Literatur-literatur : Kitab Sanghyang Kamahayanikan.
2. Pada Masa Kerajaan Singosari : Candi-candi :
1. Candi Singosari, dekat Malang, tempat pemujaan Raja Kertagama yang merupakan perpaduan antara Tantrayana dan Siwa.
2. Candi Jawi, dekat Prigen, perpaduan Tantrayana dan Siwa.
3. Candi Jabung, dekat Krasaan.
Adanya gelar Dharmadhyaksa Ring Kasogatan (kepala agama Buddha).
3. Pada masa Kerajaan Majapahit : Literatur-literatur : Kitab Sutasoma dan Kitab Kunjarakarna
4. Di pulau Sumatra terdapat juga peninggalan Candi, yakni :
1. Candi Muara Takus, dekat Bangkinang, Propinsi Riau.
2. Candi Portibi-Gunung Tua, dekat Padang sidempuan, propinsi Sumatra Utara.
Masa-masa keemasan mazhab Tantrayana terjadi terutama pada masa berkuasanya raja-raja dari wangsa Syailendra di kerajaan Mataram Purba. Hal itu terbukti dengan bangunan candi Borobudur dan candi-candi lainnya yang bernuansakan Buddha Dharma Tantrayana. Namun sangat disayangkan bahwa perkembangan Tantrayana mengalami masa surut setelah masa Raja Hayam Wuruk. Hal itu terjadi karena terputusnya garis silsilah dan tidak terdapat lagi acharya maupun guru yang mampu membimbing umat dengan baik. Seiring dengan itu, masuknya gama baruke tanah air, yakni agama Islam, juga turut mempengaruhi kemunduran Tantrayana. Sehingga menjelang akhir abad XV, daerah pesisir Utara di pulau Jawa semuanya telah memeluk agama Islam.
Literatur-literatur Buddha Dharma di Indonesia
Berdasarkan pada peninggalan-peninggalandari zaman keemasan agama Buddha pada masa kerajaan-kerajaan, baik di pulau Jawa maupun di pulau Sumatra, dapat kita simpulkan bahwa pada masa-masa tersebut, perkembangan agama Buddha terutama dari mazhab Tantrayana adalah pesat sekali. Apalagi bila kita adakan penelitan terhadap candi Borobudur, yang kita akui sebagai salah satu keajaiban dunia yang masih dapat dinikmati di muka bumi ini.
Pada masa-masa tersebut, literatur-literatur Buddha Dharma telah berkembang sangat pesat. Banyak literatur yang merupakan hasil karya para cendikiawan Buddha Dharma di zamannya. Diantara literature tersebut, antara lain : Sanghyang Kamahayanikan, Sutasoma dan Kunjarakarna.
Kitab Sutasoma
Menurut dr. WK.Dharma, Kitab Sutasoma merupakan karya Mpu Tantular. Adapun ringkasan dari kitab Sutasoma ini adalah sebagai berikut :
Dikisahkan Sanghyang Buddha yang menitis pada putra Prabu Mahaketu, raja Hastina, yang bernama Raden Sotasoma. Setelah dewasa dia sangat rajin beribadah cinta akan agama Buddha (Mahayana). Dia tidak mau dikawinkan dan dinobatkan menjadi raja. Pada suatu malam dia meloloskan diri dari kerajaan, pintu-pintu yang sedang tertutup dengan sendirinya menjadi terbuka untuk memberi jalan keluar pada prabu Sutasoma. Di dalam perjalanannya, Sutasoma tiba pada sebuah candi yang terletak di dalam hutan. Dia berhenti di candi tersebutdan mengadakan samadhi. Kemudian meneruskan perjalanan dan mendaki pegunungan Himalaya dengan diantar oleh beberapa orang pendeta. Mereka tiba si sebuah pertapaan. Diceritakan bahwa para pertapa yang melaksanakan samadhi di pertapaan itu sering mendapat gangguan dari seorang raja raksasa, yang gemar menyantap daging manusia dan bernama Purusada, akhirnya menjadi raksasa penghuni hutan. Tenyata Purusada menderita luka di kakinya dan tak kunjung sembuh.
Para pendeta meminta agar Sutasoma bersedia membunuh Purusada, akan tetapi permintaan tersebut ditolaknya. Dalam melanjutkan perjalanannya, ia mendapart serangan dari raksasa berkepala gajah dan seekor naga. Namun keduanya dapat dia dikalahkan. Ketika sampai disebuah tebing, ia melihat seekor macan betina yang sedang bersiap menyantap anaknya sendiri. Melihat kejadian tersebut, Sutasoma menawarkan diri sebagai pengganti. Maka dihisaplah darahnya oleh macan, dan meninggallah Sutasoma. Namun setelah melihat mayat Sutasoma. Kemudian datanglah Batara Indra untuk menghidupkan kembali Sutasoma. Setelah kejadian tersebut, Sutasoma bersamadhi di dalamsebuah goa. Para dewa mencoba keteguhan tekad sang pertapa tersebut dengan pelbagai godaan. Namun dapat diatasi oleh Sutasoma. Bahkan dalam melaksanakan samadhi, ia dapat menjelma menjadi Buddha Vairocana. Setelah pulih, kembali menjadi Sutasoma dan dirinya berniat untuk pulang ke negerinya. Di dalam perjalanan pulang, ia bertemu dengan bala tentara Purusada yang sedang dikejar olehPrabu Dasabahu. Ternyata ratu ini masih saudara sepupunya sendiri dan ia pun diminta untuk pulang kembali ke negerinya. Setelah kepulangannya, Sutasoma dinikahkan dengan adik Prabu Dasabahu. Setelah selesai perhelatan, ia pun menlanjutkan perjalanan ke Hastina, ia kemudian dinobatkan sebagai raja dan bergelar Prabu Sutasoma.
Pada waktu itu, raksasa Purusada yang bernazar akan mempersembahkan seratus manusia untuk menjadi santapan Batara Kala, bilamana luka di kakinya dapat disembuhkan. Ketika itu, Purusada dapat menawan sembilan puluh sembilan orang raja yang akan dipersembahkan pada Batara Kala. Untukmemperoleh raja ke seratus, Purusada lalu menyamar sebagai seorang pendeta tua yang kemudia berhasil menawan Raja Widarba. Kemudian jumlah ke seratus tawanan tersebut dipersembahkan pada Batara Kala. Namun persembahan tersebut ditolak oleh Batara Kala. Karena menginginkan daging Prabu Sutasoma. Setelah mengetahui duduk persoalan, Prabu Sutasoma bersedia menjadi santapan Batara Kala, asalkan keseratus tawanan lainnya dibebaskan. Kerelaan ini sangat berkenan di hati Batara Kala, bahkan Purusada menjadi terharu. Purusada kemudian bertobat dan berjanji tidak akan makin daging lagi.
Kitab Kunjarakarna
Menurut dr. WK.Dharma, Kitab Kunjarakarna terdiri dari dua redaksi, yakni dalam bentuk Kakawin dan dalam bentuk Prosa. Kitab Kunjarakarna hingga saat ini belum diketahui siapa pengarangnya. Kitab ini isinya antara lain menggambar kan hukuman-hukuman yang diberikan di dalam neraka, dan berisi pujian pada Buddha Vairocana dengan menganggapnya sebagai lambang kebijaksanaan yang tertinggi serta sebagai Guru yang termulia.
Ringkasan narasi dalam Kitab Kunjarakarna sebagaimana telah dikutip, adalah sebagai berikut : Dalam keadaan hati yang bimbang, Kunjarakarna pergi menemui Buddha Vairocana untuk menerima pelajaran Dharma dari beliau. Maka pergilah Kunjara karna menuju Bodhicitta, tempat tinggal Vairocana. Namun sesudah menerima Kunjarakarna,Vairocana menolak permintaannya. Dan pada Kunjarakarna, Vairocana menyatakan agar pergi menghadap Yama, Dewa neraka, supaya dapat mengetahui tentang keadaan neraka, setelah mengetahui keadaan di neraka, barulah Vairocana akan memberikan pelajaran tentang Dharma. Kunjarakarna mengikuti nasehat Vairocana, dan pergi menghadap Yama. Sesudahnya bertemu, kemudian menguraikan maksud kedatangannya, Yama kemudian memberikan ilmu-ilmu yang diperlukan.
Setelah mendengar
uraian-uraian Yama, Kunjarakarna melihat sebuah ketel besar yang sedang
dipersiapkan untuk menghukum orang. Lalu ia menanyakan pada Yama, untuk
siapa ketel tersebut dipersiapkan Jawaban Yama sangat mengejutkan,
karena ketel tersebut dipersiapkan untuk Purnawijaya,seorang Widyadhara,
yang tak lain adalah temannya sendiri. Sesudah mendapatkan perintah
dari Yama, lalu segera kembali menjumpai Buddha Vairocana, setelah itu
Kunjarakarna pun meninggalkan dunia neraka.Kemudian, berdasarkan catatan sejarah, atas usaha Bhikshu Gunawarman, pada tahun 423 Masehi, agama Buddha mulai berekembang di pulau Jawa. Sedangkan perkembangan agama Buddha di Sumatera tercatat pada catatan perjalanan I-Tsing, seorang bhikshu dari China yang dalam perjalanan pulang nya ke China singgah dan menetap beberapa waktu ke Sriwijaya di Palembang yang terletak di pulau Sumatera Selatan (685-695M).
Perkembangan Mazhab Tantrayana di Indonesia
Mazhab Tantrayana berkembang dengan pesatnya dibumi persada Indonesia, terutama pada masa-masa kerajaan Mataram kuno, Singasari dan Majapahit. Perkembangan yang demikian pesatnya seiring dan sejalan dengan mazhab-mazhab lkainnya, bahkan dengan agama Hindu yang juga banyak dianutnya pada masa-masa tersebut.
Bukti-bukti pesatnya perkembangan mazhab Tantrayana pada masa-masa tersebut, antara lain :
1. Pada masa Kerajaan Kuno : Candi-candi Buddha :
1. Candi Kalasan, dekat Jogjakarta, didirikan tahun 778 M.
2. Candi Sari, dekat Candi Kalasan.
3. Candi Borobudur, dekat Magelang, didirikan tahun 826 M.
4. Candi Mendut, di sebelah Timur Candi Borobudur, didirikan tahun 809 M.
5. Candi Pawon, merupakan gerbang Candi Borobudur, didirikan tahun 826 M.
6. Gugusan Candi Ngawen, dekat Muntilan.
7. Gugusan Candi Sewu, dekat Prambanan.
8. Gugusan Candi Plaosan, disebelah Timur Candi Sewu.
Literatur-literatur : Kitab Sanghyang Kamahayanikan.
2. Pada Masa Kerajaan Singosari : Candi-candi :
1. Candi Singosari, dekat Malang, tempat pemujaan Raja Kertagama yang merupakan perpaduan antara Tantrayana dan Siwa.
2. Candi Jawi, dekat Prigen, perpaduan Tantrayana dan Siwa.
3. Candi Jabung, dekat Krasaan.
Adanya gelar Dharmadhyaksa Ring Kasogatan (kepala agama Buddha).
3. Pada masa Kerajaan Majapahit : Literatur-literatur : Kitab Sutasoma dan Kitab Kunjarakarna
4. Di pulau Sumatra terdapat juga peninggalan Candi, yakni :
1. Candi Muara Takus, dekat Bangkinang, Propinsi Riau.
2. Candi Portibi-Gunung Tua, dekat Padang sidempuan, propinsi Sumatra Utara.
Masa-masa keemasan mazhab Tantrayana terjadi terutama pada masa berkuasanya raja-raja dari wangsa Syailendra di kerajaan Mataram Purba. Hal itu terbukti dengan bangunan candi Borobudur dan candi-candi lainnya yang bernuansakan Buddha Dharma Tantrayana. Namun sangat disayangkan bahwa perkembangan Tantrayana mengalami masa surut setelah masa Raja Hayam Wuruk. Hal itu terjadi karena terputusnya garis silsilah dan tidak terdapat lagi acharya maupun guru yang mampu membimbing umat dengan baik. Seiring dengan itu, masuknya gama baruke tanah air, yakni agama Islam, juga turut mempengaruhi kemunduran Tantrayana. Sehingga menjelang akhir abad XV, daerah pesisir Utara di pulau Jawa semuanya telah memeluk agama Islam.
Literatur-literatur Buddha Dharma di Indonesia
Berdasarkan pada peninggalan-peninggalandari zaman keemasan agama Buddha pada masa kerajaan-kerajaan, baik di pulau Jawa maupun di pulau Sumatra, dapat kita simpulkan bahwa pada masa-masa tersebut, perkembangan agama Buddha terutama dari mazhab Tantrayana adalah pesat sekali. Apalagi bila kita adakan penelitan terhadap candi Borobudur, yang kita akui sebagai salah satu keajaiban dunia yang masih dapat dinikmati di muka bumi ini.
Pada masa-masa tersebut, literatur-literatur Buddha Dharma telah berkembang sangat pesat. Banyak literatur yang merupakan hasil karya para cendikiawan Buddha Dharma di zamannya. Diantara literature tersebut, antara lain : Sanghyang Kamahayanikan, Sutasoma dan Kunjarakarna.
Kitab Sutasoma
Menurut dr. WK.Dharma, Kitab Sutasoma merupakan karya Mpu Tantular. Adapun ringkasan dari kitab Sutasoma ini adalah sebagai berikut :
Dikisahkan Sanghyang Buddha yang menitis pada putra Prabu Mahaketu, raja Hastina, yang bernama Raden Sotasoma. Setelah dewasa dia sangat rajin beribadah cinta akan agama Buddha (Mahayana). Dia tidak mau dikawinkan dan dinobatkan menjadi raja. Pada suatu malam dia meloloskan diri dari kerajaan, pintu-pintu yang sedang tertutup dengan sendirinya menjadi terbuka untuk memberi jalan keluar pada prabu Sutasoma. Di dalam perjalanannya, Sutasoma tiba pada sebuah candi yang terletak di dalam hutan. Dia berhenti di candi tersebutdan mengadakan samadhi. Kemudian meneruskan perjalanan dan mendaki pegunungan Himalaya dengan diantar oleh beberapa orang pendeta. Mereka tiba si sebuah pertapaan. Diceritakan bahwa para pertapa yang melaksanakan samadhi di pertapaan itu sering mendapat gangguan dari seorang raja raksasa, yang gemar menyantap daging manusia dan bernama Purusada, akhirnya menjadi raksasa penghuni hutan. Tenyata Purusada menderita luka di kakinya dan tak kunjung sembuh.
Para pendeta meminta agar Sutasoma bersedia membunuh Purusada, akan tetapi permintaan tersebut ditolaknya. Dalam melanjutkan perjalanannya, ia mendapart serangan dari raksasa berkepala gajah dan seekor naga. Namun keduanya dapat dia dikalahkan. Ketika sampai disebuah tebing, ia melihat seekor macan betina yang sedang bersiap menyantap anaknya sendiri. Melihat kejadian tersebut, Sutasoma menawarkan diri sebagai pengganti. Maka dihisaplah darahnya oleh macan, dan meninggallah Sutasoma. Namun setelah melihat mayat Sutasoma. Kemudian datanglah Batara Indra untuk menghidupkan kembali Sutasoma. Setelah kejadian tersebut, Sutasoma bersamadhi di dalamsebuah goa. Para dewa mencoba keteguhan tekad sang pertapa tersebut dengan pelbagai godaan. Namun dapat diatasi oleh Sutasoma. Bahkan dalam melaksanakan samadhi, ia dapat menjelma menjadi Buddha Vairocana. Setelah pulih, kembali menjadi Sutasoma dan dirinya berniat untuk pulang ke negerinya. Di dalam perjalanan pulang, ia bertemu dengan bala tentara Purusada yang sedang dikejar olehPrabu Dasabahu. Ternyata ratu ini masih saudara sepupunya sendiri dan ia pun diminta untuk pulang kembali ke negerinya. Setelah kepulangannya, Sutasoma dinikahkan dengan adik Prabu Dasabahu. Setelah selesai perhelatan, ia pun menlanjutkan perjalanan ke Hastina, ia kemudian dinobatkan sebagai raja dan bergelar Prabu Sutasoma.
Pada waktu itu, raksasa Purusada yang bernazar akan mempersembahkan seratus manusia untuk menjadi santapan Batara Kala, bilamana luka di kakinya dapat disembuhkan. Ketika itu, Purusada dapat menawan sembilan puluh sembilan orang raja yang akan dipersembahkan pada Batara Kala. Untukmemperoleh raja ke seratus, Purusada lalu menyamar sebagai seorang pendeta tua yang kemudia berhasil menawan Raja Widarba. Kemudian jumlah ke seratus tawanan tersebut dipersembahkan pada Batara Kala. Namun persembahan tersebut ditolak oleh Batara Kala. Karena menginginkan daging Prabu Sutasoma. Setelah mengetahui duduk persoalan, Prabu Sutasoma bersedia menjadi santapan Batara Kala, asalkan keseratus tawanan lainnya dibebaskan. Kerelaan ini sangat berkenan di hati Batara Kala, bahkan Purusada menjadi terharu. Purusada kemudian bertobat dan berjanji tidak akan makin daging lagi.
Kitab Kunjarakarna
Menurut dr. WK.Dharma, Kitab Kunjarakarna terdiri dari dua redaksi, yakni dalam bentuk Kakawin dan dalam bentuk Prosa. Kitab Kunjarakarna hingga saat ini belum diketahui siapa pengarangnya. Kitab ini isinya antara lain menggambar kan hukuman-hukuman yang diberikan di dalam neraka, dan berisi pujian pada Buddha Vairocana dengan menganggapnya sebagai lambang kebijaksanaan yang tertinggi serta sebagai Guru yang termulia.
Ringkasan narasi dalam Kitab Kunjarakarna sebagaimana telah dikutip, adalah sebagai berikut : Dalam keadaan hati yang bimbang, Kunjarakarna pergi menemui Buddha Vairocana untuk menerima pelajaran Dharma dari beliau. Maka pergilah Kunjara karna menuju Bodhicitta, tempat tinggal Vairocana. Namun sesudah menerima Kunjarakarna,Vairocana menolak permintaannya. Dan pada Kunjarakarna, Vairocana menyatakan agar pergi menghadap Yama, Dewa neraka, supaya dapat mengetahui tentang keadaan neraka, setelah mengetahui keadaan di neraka, barulah Vairocana akan memberikan pelajaran tentang Dharma. Kunjarakarna mengikuti nasehat Vairocana, dan pergi menghadap Yama. Sesudahnya bertemu, kemudian menguraikan maksud kedatangannya, Yama kemudian memberikan ilmu-ilmu yang diperlukan.
Kunjarakarna tidak segera menghadap Vairocana, dan malah pergi menemui temannya, Purnawijaya dengan maksud memberitahukan pada Purnawijaya tentang kejadian apa yang telah dilihatnya di dunia neraka. Setelah memperoleh berita dari Kunjarakarna, Purnawijaya sangat terkejut dan meminta nasehatnya. Lalu Kunjarakarna menjawab, bahwa ia tidak dapat menolong Purnawijaya, karena diri Purnawijayabelum dibersihkan dari dosa-dosa yang telah diperbuat. Ia kemudian mengajak Purnawijaya untuk bersama-sama menemui Vairocana di Bodhicitta.
Sesampai di Bodhicitta, Kunjarakarna menyuruh Purnawijaya untuk bersembunyi terlebih dahulu. Sedangkan dirinya menghadap Vairocana lebih dahulu. Setelah memohon pada Vairocana, agar diberikan pelajaran tentang ilmu kesempurnaan hidup untuk dapat mencapai kebahagiaan, sambil menyinggung nyinggung tentang keadaan Purnawijaya. Setelah menerima pelajaran dari Vairocana, ia pun mohon diri dan kembali ke tempat Purnawijaya menyembunyikan diri.
Kemudian tibalah giliran Purnawijaya untuk menghadap Vairocana untuk mengajukan permohonan. Oleh Vairocana, Purnawijaya kemudian diberikan pelajaran dan menerima pelajaran tersebut, segeralah lenyap semua nafsu yang melekat pada dirinya yang menyebabkan ia berbuat dosa. Walupun demikian, Purnawijaya belum dapat tertolong dari maut. Oleh karena dosa-dosa yang pernah diperbuatnya, akhirnya Purnawijaya masuk neraka, tetapi tak akan lama di dunia neraka, hanya sepuluh hari saja. Hal itu perlu untuk membersihkan diri dari dosa-dosa yang pernah diperbuatnya. Setelah menerima pelajaran dari Vairocana, terhiburlah hati Purnawijaya. Kemudian dengan semangatnya Purnawijaya berlatih keras dalam samadhi dan dhyana, sesuai dengan pelajaran yang telah diterima dari Vairocana. Didampingi istrinya, Gandhawati, Purnawijaya lalu berpesan, apabila ajalnya tiba, istrinya yang harus mengurus dan menjaga mayatnya selama sepuluh hari, karena setelah sepuluh hari ia akan bangun kembali.
Saat yang dinanti-nantikan pun tiba. Jiwa meninggalkan tubuh, diikuti oleh sebuah bayangan yang merupakan akibat dosa yang telah diperbuatnya, pergi ke dunia neraka dan menghadap pada Yama. Sesamp[ainya dineraka, oleh para pengawal neraka, Purnawijaya segera dilemparkan dalam ketel panas itu. Namun sekonyong-konyong ketel tersebut pecah dan hancur lebur. Dan ditempat tersebut muncul sebatang pohon surga, dikelilingi kolam dan bunga teratai yang amat indah. Para pengawal neraka sangat terkejut dan melaporkan kejadian tersebut pada Yama.
Kemudian bertanyalah Yama pada Purnawjaya tentang kejadian tersebut, setelah mendapatkan penjelasan dari Purnawijaya, yama lalu mengijinkan Purnawijaya untuk kembali ke asal(tubuh)nya. Setelah bangun kembali, Purnawijaya lalu memangggil semua Widyadhara dan Widyadhari untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Kemudian ia mengajak mereka semua untuk menghadap Vairocana dan meyampaikan puja dan puji untukNya.
Pada saat hampir bersamaan,semua dewa, seperti Indra, Waruna dan lain-lainnya mendatangi Yama untuk menanyakan apa yang telah terjadi. Setelah mendapatkan penjelasan dari Yama, para dewa kemudian menghadap Vairocana untuk memohon penjelasan. Dengan suka hati Vairocana lalu menceritakan kisah Kunjarakarna dan Purnawijaya, mengingatkan para dewa pada ilmu kenyataan itu. Setelah mendapatkan penjelasan dari Vairocana, mereka pun kembali ke alam sorga. Setelah mengalami benyak peristiwa dan pelajaran, Kunjarakarna dan Purnawijaya akhirnya bersama-sama melanjutkan samadhi di kaki gunung Mahameru. Setelah bersamadhi selama dua belas tahun, mereka kemudian naik ke sorga Siddha.
Kitab Sanghyang Kamahayanikan
Sanghyang Kamahayanikan adalah merupakan sebuah literature agama Buddha yang sangat erat hubungannya dengan agama Buddha mazhab Tantrayana di Indonesia. Kitab Sanghyang Kamahayanikan ini seluruhnya berisi 129 ayat. Bagi sebagian besar umat Buddha. Isi dari kitab tersebut masih merupakan suatu kendala untuk dimengerti dan berada di luar kemampuan pikiran mereka.
Menurut penelitian yang pernah dilakukan, kitab Sanghyang Kamahayanikan tersusun antara tahun 929-947 Masehi oleh Mpu Shri Sambhara Surya Warama dari Jawa Timur, sebagai penerus dari kerajaan Mataram yang bergeser ke Jawa Timur. Naskah tertua dari kitab Sanghyang Kamahayanikan ini diketemukan di pulau Lombok pada tahun 1900 Masehi. Naskah ini oleh prof.Yunboll kemudian dibahas pada tahun 1908.dan diterjemahkan kedalam bahasa Belanda oleh, J.deKatt pada tahun 1940. setelah itu,naskah tersebut diteliti lagi oleh Prof.Wuff. Selanjutnya, naskah tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh I Gusti Bagus Sugriwa.
Kemudian oleh Tim Penerjemah Kitab Suci Agama Buddha Ditura Buddha ~Ditjen Bimas Hindu dan Buddha, Departemen Agama RI. Kitab Sanghyang Kamahayanikan ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan merupakan hasil yang lebih baik dari terjemahan-terjemahan sebelumnya.
Menurut dr.DK.Widya, isi kitab Sanghyang Kamahayanikan ini mengajarkan bagaimana seseorang mencapai Kebuddhaan, di mana seorang siswa pertama -tama melaksanakan Paramita-paramita, kemudian dijelaskan Paramaguhya dan Mahaguhya. Selain itu dijelaskan juga falsafah Adwaya yang mengatasi dualisme”ada” dan “tidak ada”.
Disamping itu, dapat diperoleh tambahan informasi berupa hasil wawancara dengan dua orang tokoh Tantrayana, yakni YA. Rinpoche Zurmang Garwang dari Sikkim, India dan YA.Rinpoche Losang Ngudup dari Mysore,India. YA.Rinpoche Zurmang Garwang adalah seorang pemimpin dari Dharma Chakra Centre yang terletak di Rumtek. East Sikkim, India. Menurut keterangan, beliau diyakini telah tumimbal lahir sebanyak tiga belas kali dan penganut Tantra, baik di Sikkim dan di Tibet mengkonsumsi jenis makanan nabati (vegetarian) dan hewani. Vinaya yang berpantang makan dari bahan makanan hewani atau yang dikenal dengan ‘vegetarian’ hanya pada kelompok Sangha aliran Mahayana di daratan China saja.
Menurut YA. Rinpoche Zurmang garwanglebih lanjut, setiap rohaniwan Tantra (sering disebut sebagai ‘Lhama’), mereka harus mendalami dahulu dasar-dasar Buddha Dharma yang ada pada mazhab Theravada dan Mahayana, sebelum mereka mendalami Tantrayana. Karena semua pada Buddha Dharma baik pada Theravada, Mahayana dan Tantrayana adalah sama. Mereka hanya berbeda pada cara pengalamannya saja.
YA. Rinpoche Losang Ngudup berasal dari kelompok Ge-lugpa (Yellow Hat Sect /sekte jubah kuning) adalah Ex Abbot (mantan Rektor) pada sera Mahayana Sermey Monastic University, yang terletak di Mysore, Distrik Karnanata-Southern India. Sera Mahayana Sermey Monastic University adalah lembaga pendidikan tinggi yang dikhususkan bagi para rohaniwan Tantrayana sebelum mereka di wisuda (inisiasi) sebagai “Lhama”.
Menurut YA. Rinpoche Losang Ngudup, setiap calon “Rinpoche” harus terlebih dahulu menjadi anggota Sangha, yang dalam Tantrayana disebut sebagai Lhama dan harus mendalami terlebih dahulu Dharma yang ada pada mazhab Tantrayana. Ini adalah informasi yang sama dengan YA. Rinpoche Zurmang Garwang. Menurut beliau lebih lanjut, kunjungan beliau dan rombongan ke Indonesia adalah dalam rangka mencari ‘benang merah’ dengan Tantrayana di Indonesia. Mereka berkeyakinan bahwa Tantrayana pada masa kerajaan-kerajaan dahulu adalah memiliki ‘garis silsilah’(lineage) yang sama dengan mereka, yakni melalui YA. Atissa Srinyana Dipankara. YA. Atissa adalah seorang Rinpoche yang pernah menetap di Sriwijaya (P.Sumatera) dan berguru pada YA. Dharmakirti atau Dharmaphala. YA.Atissa tiba di Sriwijaya pada usia 31 tahun dan beliau menetap di sana sekitar duabelas tahun lamanya. Menurut YA. Rinpoche Losang Ngudup, YA. Rinpoche Atissa telah menanamkan semangat bagi kekuatan spiritual Tantrayana di Tibet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
HARAP TINGGALKAN KOMENTAR ANDA